MENGENAL MASJID RAYA AL MASHUN MEDAN

Sabtu, 21 Juli 2012

Sejak menjadi kesultanan yang merdeka dari Kesultanan Aceh, Kesultanan Siak (1858), dan Belanda (1861), Kesultanan Deli memiliki hak penuh untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Melihat peluang tersebut, sultan yang berkuasa saat itu, Sultan Mahmud Al Rasyid (1858-1873), membuat langkah yang sangat strategis yaitu dengan memberikan hak pemanfaatan lahan kepada Belanda. Belanda yang memiliki pengetahuan dan kemampuan lebih baik dalam melihat potensi dan pengelolaan lahan, memanfaatkan lahan-lahan yang dikuasainya untuk membuka perkebunan tembakau. Ternyata, tembakau Deli sangat diminati oleh orang-orang Eropa. Sejak saat itulah, secara perlahan perekomian Deli semakin hari semakin membaik. Puncak dari pencapaian kegemilang dalam bidang ekonomi Kesultanan Deli dicapai pada masa kepemimpinan Sultan Ma'moen Al Rasyid (1873-1924).

Pencapaian Tapak kegemilangan dalam bidang ekonomi kepemimpinan Sultan Ma'moen Al Rasyid dapat kita saksikan melalui bangunan-bangunan peninggalan Kesultanan Deli yang hingga saat ini masih terlihat megah dan mewah, salah satunya adalah Masjid Raya Al Mashun. Konon, lokasi masjid ini pada awalnya berada tidak jauh dari kompleks istana tempat sultan dan keluarganya tinggal. Namun, kompleks istana sultan saat ini sudah tidak lagi karena dalam revolusi sosial yang terjadi di kawasan Sumatra bagian timur tahun 1946, bangunan istana tersebut dibakar dan isinya dijarah masa.
Masjid Raya Al Mashun merupakan salah satu peninggalan Sultan Ma'moen Al Rasyid Perkasa Alam (1873-1924) yang sangat monumental dan memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi. Masjid dengan luas bangunan sekitar 5000 m2 dan dibangun di atas lahan seluas 18.000 m2 ini memerlukan waktu tiga tahun untuk menyelesaikannya, yaitu mulai 1 Rajab 1324 H (21 Agustus 1906 M), sampai 25 Sya'ban 1329 H (10 September 1909), serta digunakan kali pertama pada 19 September 1909. Jika dilihat dari tanggal pembangunannya tersebut, maka masjid yang dirancang oleh Dingemans dari Belanda ini telah berumur lebih dari 1 abad, sehingga termasuk salah satu bangunan tertua di Kota Medan. 
Sebagai bangunan tua, Pemkot Medan dan Pengelola Masjid Raya Al Mashun memberikan penangangan khusus terhadap masjid ini. Di sebuah papan yang berada dipintu gerbang masuk kompleks masjid misalnya, para pengunjung hendak memasuki masjid di"warning" agar tidak melakukan tujuh hal, yaitu dilarang masuk bagi segala jenis kendaraan, dilarang memakai alas kaki, dilarang berjualan di dalam kompleks, dilarang bermain segala jenis olahraga, dilarang meludah di atas lantai, dilarang membuang sampah sembarangan, dan dilarang merokok. Bagi yang melakukan ketujuh  larangan tersebut, akan dituntut melanggar pasal 406 ayat 1 KUHP, dengan ancaman 2 tahun dan 8 bulan penjara.
Sejak dibangun sampai saat ini, Masjid Raya Al Mashun belum pernah direnovasi atau dipugar. Menurut salah seorang pengelola masjid, Pemerintah Daerah Sumatra Utara pernah merencanakan renovasi bagian-bagian Masjid Raya Al-Mashun yang telah rusak dimakan usia dan perluasan agar dapat menampung jama'ah lebih banyak. Namun karena ditentang oleh banyak kalangan yang khawatir nilai-nilai seni dari gaya arsitektur asli bangunan ini hilang, akhirnya pemerintah daerah hanya menambah sarana penunjang masjid, seperti penambahan tempat wudhu wanita (1980), tanpa mengotak-atik bangunan utamanya. Itulah sebabnya, bangunan masjid tua ini masih tetap utuh seperti bentuk aslinya ketika dibangun lebih dari seabad silam.
Masjid Raya Al Mashun yang menjadi salah satu ikon Medan sebagai "kota tua", bukan sekedar bangunan tua yang memiliki bentuk dan gaya arsitektur, serta ragam hias yang unik, tetapi juga merupakan manifestasi dari ketaatan dan kepatuhan Sultan Deli dan rakyatnya kepada Tuhan yang maha kuasa. Dengan melihat bentuk dan segala macam ragam hias yang memenuhi bangunan masjid, pengunjung akan terkagum-kagum terhadap pencapaian seni arsitektur pada masa kejayaan Kesultanan Deli. Dengan melihat keseluruhan bangunan Masjid Raya Al Mashun, kita akan menyadari betapa Islam telah berkembang pesat saat itu dengan nilai-nilai keislaman sebagai pegangan hidup Sultan Deli beserta rakyatnya.

Aura Masjid Raya Al Mashun sebagai bangunan yang mengandung nilai sejarah sangat penting sudah akan terasa sebelum para pengunjung melewati pintu gerbang masjid. Sebuah papan di pintu gerbang masjid bertuliskan "Anda Memasuki Kawasan Wajib Berbusana Muslim" dan di bawahnya tertera tujuh tindakan yang terlarang dilakukan di area kompleks masjid, semakin menambah aura kesakralan masjid.
Begitu melewati pintu gerbang, para pengunjung akan mendapat suguhan pemandangan yang sangat luar biasa indah, yaitu bangunan eksotik Masjid Raya Al Mashun yang terlihat sangat megah dalam usianya yang melampaui satu abad. Saat kali pertama melihat bangunan ini, pengunjung akan segera mengetahui bahwa bentuk dasar masjid ini berbeda dengan masjid-masjid pada umumnya. Jika biasanya masjid berbentuk segi empat sehingga berbentuk seperti kotak, maka Masjid Raya Al-Mashun kelihatan berbentuk bundar. Pada saat Anda memasuki dan mengelilingi masjid ini, maka anda akan mengetahui bahwa Masjid Raya Al-Mashun memang berbentuk bundar bersegi delapan dengan 4 serambi utama - di depan, belakang, samping kiri dan kanan, yang sekaligus menjadi pintu utama masuk ke masjid.
Ornamen-ornamen yang menghiasinya sisi luar gedung dengan lima buah kubah berwarna hitam di atasnya menjadikan arsitektur masjid menjadi semakin kelihatan artistik. Satu kubah berukuran paling besar terletak persis di tengah, di atas ruang utama, dan empat kubah lainnya yang lebih kecil berada pada keempat sisi sayapnya, sehingga seolah-olah mengapit kubah utama. Di atas masing-masing kubah berwarna hitam tersebut terdapat sebuah ornamen penghias yang menjadi simbol Islam, yaitu bulan sabit.
Dengan memperhatikan secara seksama bentuk bangunan tersebut, maka pengunjung akan mengetahui bahwa arsitektur Masjid Raya Al-Mashun merupakan kombinasi sari arsitektur bergaya Arab, India, Spanyol, dan Melayu. Perpaduan desain arsitektural tersebut menghasilkan sebuah dimensi nilai bangunan yang tidak saja artistik, tetapi juga mengandung nilai estetika dan etika yang tinggi. Sungguh sebuah masjid yang sangat unik dan sarat makna.
Pelajaran tentang tata arsitektur yang sesuai dengan kondisi alam Medan pada khususnya, dan alam tropis pada umumnya, akan segera didapat oleh para pengunjung begitu melewati pintu utama masjid. Hawa panas di luar masjid, sebagaimana hawa panas kota Medan pada siang hari, akan lenyap tidak terasa dan berganti hawa sejuk begitu kaki melangkah melewati pintu masjid. Hawa sejuk tersebut tidak disebabkan oleh keberadaan AC (Air Conditioner) sebagaimana biasa kita temui dalam gedung-gedung pencakar langit, tetapi dari arus sirkulasi udara yang secara lancar melewati lubang-lubang besar pada dinding masjid. Ruangan yang sangat lebar dengan jarak lantai ke atap yang sangat tinggi, memungkinkan terjadinya perputaran udara secara optimal, sehingga ruangan selalu sejuk. Desain arsitektur yang ramah lingkungan seperti Masjid Raya Al-Mashun, saat ini semakin ditinggalkan. Kita lebih tertarik mencopy paste desain arsitektur barat yang nota bene kurang cocok untuk alam tropis.
Di bagian dalam masjid, pengunjung akan menyaksikan batu marmer menjulang tinggi berdiameter 0,60 m sebanyak 8 buah yang dijadikan sebagai pilar utama dan menjadi penyangga kubah utama pada bagian tengah. Keempat pintu utama dan 8 buah jendela serambi terbuat dari ukiran kayu jenis merbau bergaya seni tinggi. Belum lagi dengan ukiran dan hiasan ornamen khas Melayu Deli pada setiap sudut bangunan, yang serta merta melahirkan nilai-nilai sakral religius yang teramat dalam bagi tiap orang yang memasukinya. Mata pengunjung akan semakin takjub ketika melihat lukisan dan ragam hias yang memenuhi dinding bagian dalam masjid, dari kaki dinding hingga puncak kubah.
Di bagian dalam masjid, pengunjung juga akan menyaksikan dua buah dua buah mimbar yang terbuat dari batu marmer. Satu mimbar berada di bagian depan dan digunakan sebagai tempat menyampaikan khutbah. Satu mimbar yang lain berada di belakang, dan digunakan sebagai tempat mengumandangkan adzan. Kedua mimbar yang dipenuhi berbagai macam ornamen dan hiasan tersebut menjadikan ruangan di dalam masjid ini terasa begitu mewah. 

Pada bulan Ramadhan, suasana di Masjid Raya ini menjadi jauh lebih semarak dibanding hari-hari biasa. Kegiatan ibadah tidak hanya berlangsung siang hari, melainkan juga malam hari hingga menjelang waktu sahur. Siang disisi dengan kegiatan muzakarah, diskusi tentang hukum sya’ri Islam, ceramah Ramadhan, dan berbagai kegiatan pengkajian Islam lainnya.

Pada malam hari kegiatannya berupa shalat Tarawih dan Tadarrus Al-Qur’an hingga larut malam hingga sampai dini hari saat sahur tiba. Selain itu, untuk menghidupkan suasana di komplek masjid, pengurus juga menyiapkan makanan bukaan setiap sore dari sumbangan para dermawan dan masyarakat sekitar masjid. Makanan berbuka yang disiapkan hingga 300 - 500 orang tersebut khusus bagi anak-anak yatim, gelandangan, dan kaum musafir yang jauh dari rumahnya saat waktu berbuka tiba. Hidangan khas di masjid ini adalah sajian bubur pedas khas masjid Raya Al Mashun.

































0 komentar: